Senin, 01 Juni 2009

Peninggalan Sejarah di Banten

Laporan Perjalanan Kunjungan Situs Banten

Oleh Joni Albert, Mahasiswa Arkeologi Universitas Indonesia

BANTEN – Sebagai salah satu tinggalan sejarah Islam dan Kolonial, Banten merupakan salah satu daya tarik bagi pecinta tinggalan-tinggalan kuno. Kota dengan luas 8.800.83 km2 ini mempunyai beberapa tinggalan arkeologi dengan jenis rumah ibadah, benteng, pengindelan (pintu air) dan lain sebagainya. Mahasiswa Arkeologi Universitas Indonesia pun tak menikmati tinggalan arkeologi ini. Tepatnya pada tanggal 8-10 Mei 2009, sejumlah mahasiswa mengunjungi situs dengan menggunakan truk dari Fakultas Ilmu Budaya menuju Banten Lama dengan lama perjalanan kurang dari 4 jam dan singgah di Musem Banten Lama yang terletak kira-kira 11 km arah utara kota Serang. Sebelum berangkat, aku meng up-date ibu ku terlebih dahulu yang berada di Riau bahwa aku akan melakukan perjalanan. Jalan yang ditempuh oleh truk yang ku naiki cukup mulus karena kami melewati jalan tol dan sejumlah jalan kecil yang aspalnya cukup tertambal dengan baik.

Ketika memasuki pusat Kota Banten Lama zaman dahulu, kami lansung di sambut oleh Gapura Bentar, yang menandakan bahwa kami telah memasuki kawasan Kota Banten Lama pada zaman dahulu. Setelah Gapura Bentar, kami lansung di sambut oleh pemandangan indah tampak luar Keraton sekaligus Benteng Surosoan. Sepanjang perjalanan dari Gapura Bentar hingga Benteng Surosoan, tanaman padi kecil yang mulai menghijau tak lupa menyapa dan mengucapkan selamat datand di Pusat kota Banten Lama kepada kami. Sesampainya di Museum Banten Lama, tepatnya pada pukul 23.15, aku dan semua teman-teman ku lansung pergi ke Basecamp yang merupakan salah satu bagian dari Museum Banten Lama tersebut. Saat aku turun dari truk tersebut, tak lupa kembali aku meng up-date kabar ku pada Ibu ku bahwa aku telah sampai dengan selamat ditujuan. Panorama malam yang cukup sejuk dan bulan yang cukup ceria menyambut kami meringankan sedikit kelelahan ku selama perjalanan. Sambil menikmati malam, aku dan teman ku masuk ke Basecamp yang ada hingga akhirnya menuju tempat tidur.

Bangun pada pukul 05.00, kami lansung mandi dan memasak makanan sendiri. Pada pukul 06.30, pagi terasa cukup panas karena sang surya menyapa kami dengan sinarnya. Tepat pada pukul 07.15, kami, para Indiana Jones muda memulai kegiatan akademiknya di Keraton Kaibon. Sesampainya di Keraton Kaibon, nada sesal dalam diri ku mengalir cukup deras karena menyadari bahwa keraton itu tak seperti ada dipikiran ku sebelumnya. Panorama keindahan yang ada dipikiran ku mengenai keindahan Keraton Kaibon sebelum aku sampai lansung luntur. Nama Keraton Kaibon bila ditinjau lagi namanya berasal dari kata Keibuan, dan istana ini dibangun untuk ibunda Sultan, dan dalam pikiran ku, bukan lah tempat yang pantas buat seorang Ibu apabila kondisinya pada zaman dahulu seperti yang aku lihat saat itu. Sedikit berjalan ke dinding tembok keraton, banyak rumput liar tumbuh meraja lela dan merusak pemandangan karena rumput liar itu banyak sekali dan seperti menguasai dan mengepung keraton layaknya Belanda yang menjajah Indoneia. Rumput liar yang tumbuh di dalam keraton seolah mengejek ku sebagai anak yang cengeng karena bersedih melihat tinggalan keraton itu tak terurus. Lumut-lumut yang menempel pada setiap dinding keraton tak lupa ikut menertawakan ku dengan hal yang serupa. Sejumlah sampah dan tulisan tidak penting pada dinding bangunan juga melakukan hal yang sama seperti lumut dan rumput liar lakukan. Hanya reruntuhan bangunan yang empati terhadap diriku. Itu pun aku tahu karena dia juga pasti bersedih karena melihat keadaannya yang tak terurus. Andai bangunan itu dapat berbicara dan bergerak, mereka pasti bersama-sama pergi ke kantor pemerintahan daerah setempat untuk mendapatkan hak mereka untuk tetap dilindungi. Buruknya manajemen situs yang dilakukan oleh pihak pemerintahan akan situs itu sendiri menjadikan situs itu sendiri menjadi lahan tak berdaya guna yang cukup baik dalam bidang pariwisata maupun edukasi. Sekitar 15 menit aku mengelilingi keraton itu dan akhirnya kami singgah juga di reruntuhan keraton untuk melakukan kegiatan edukasi, yakni mendeskripsikan tinggalan arkeologi dalam berbagai cara. Ditemani panas, kami berada di keraton itu hingga pukul 12.30 WIB dan cukup banyak pengetahuan yang saya dapatkan dari deskripsi itu. Setelah itu, kami kembali ke basecamp dan makan siang dan lalu istirahat.Photobucket - Video and Image HostingSetelah penat hilang dan cacing dalam perut kami tentram, kami melakukan perjalanan lagi. Perjalanan kami berlanjut ke Keraton Surosoan dan matahari juga sedikit melangkah kearah barat lau untuk menutup kuasa sinarnya. Ketika hendak memasuki keraton, disepanjang jalan menuju keraton banyak orang-orang berjualan dan banyak juga kambing-kambing yang dapat meneluarkan kotoran yang tidak dikehendaki kehadirannya. Tepat disebelah kiri pintu masuk terdapat papan pengumuman bahwa keraton ini adalah benda cagar budaya yang tidak boleh dirusak. Namun, aku sedikit terpaku dengan papan pengumuman itu, karena papan pengumuman itu saja sudah dirusak. Itu artinya, tidak ada pengindahan akan larangan-larangan yang tertera pada papan tersebut. Ternyata apayang ku pikirkan benar adanya. Tak ubahnya seperti Keraton Kaibon, Keraton Surosoan yang juga merupakan bekas benteng ini juga tidak terurus dengan tinggalan yang rusak tak terurus. Keraton yang mulai dibangun tahun 1552 sampai sekitar tahun 1570 pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanudin dan kemudian dilanjutkan pada masa Maulana Yusup Sultan Banten kedua antara tahun 1570 sampai sekitar tahun 1580 ini tampak seperti lahan yang bekas tinggalan dan hanya menyisakan pondasi-pondasi dan sisa-sisa kamar mandi. Rumput liar juga cukup leluasa tumbuh di benteng ini. Di sekitar tinggalan kamar mandi pun tampak memuakkan mata memandang. Air yang tidak bersih dan kotoran-kotoran mengambil arus pandang manusia yang seharusnya menuju kepada tinggalan sejarahnya ke arah sampah dan kotoran itu berada dan terkadang sedikit membuat kesan malas dan muak untuk pergi mengunjungi tempat itu untuk kedua kali. Keraton Surosowan yang juga merupakan sebuah benteng ini tampak jauh berbeda dengan keindahan benteng-benteng yang ada di luar negeri yang terawat dan layak dijadikan pusat pariwisata. Selain itu, bebasnya pengemis yang meminta-minta dan binatang-binatang, seperti kambing, menambah citra buruknya pengelolaan keraton ini. Adanya keraton ini tak dapat menggambarkan kejayaan Banten pada masa lampau dan mungkin tidak dapat dijadikan acuan mengatakan bahwa Banten pernah Berjaya pada masa lalu. Tampak pada gambar disamping, seorang anak kecil yang meminta-minta pada pengunjung sampai-sampai ia mengikuti pengunjung kemanapun pengunjung pergi. Pada saat anak kecil itu datang meminta-minta pada ku, aku hanya bisa bersabar dan sempat ada nada marah dalam raut muka ku yang dapat dibaca anak itu. Ia tahu aku sangat marah dan ia malah mengancam ku dengan mengatakan bahwa aku dapat ditahan polisi apabila aku marah-marah. Aku pikir itu hanyalah gertakan anak-anak yang tak perlu dihiraukan hingga akhirnya anak itu pergi sendiri, walaupun kemudian ia mendatangi ku lagi hingga tiga kali.

Lelah mengelilingi Keraton Surosowan, akhirnya kami pergi meneruskan perjalanan menuju Benteng Spellwijk. Sebelum menuju Benteng Spellwijk, kami terlebih dahulu singgah sekitar lima menit dijembatan rantai. Jembatan rantai ini adalah jembatan terindah kedua yang pernah saya lihat secara lansung setelah jembatan Ampera yang ada di Palembang. Walaupun tidak panjang, jembatan yang ditengahnya ini sengaja dipotong memiliki arsitektur yang cukup indah. Keyakinan ku saat itu adalah kepastian akan kokohnya bangunan jembatan itu. Saat ini jembatan rantai sudah tidak dipergunakan lagi. Air sungai pun mengalir dibawahnya dan kini banyak tumbuhan yang hidup dialiran sungai yang dapat dipastikan tidak dalam itu. Selain itu, tepat disampingnya tempat pembakaran sampah dan banyak sampah yang berserakan hingga kebawah jembatan sehingga cukup mengganggu pemandangan. Yang tersisa kini sisa jembatan itu melekat kuat tertanam didalam tanah dekat pinggiran sungai. Kemudian kami pun melanjutkan perjalanan ke Benteng Spellwijk. Awalnya aku dan beberapa teman ku singgah terlebih dahulu di kuburan yang letaknya tepat di belakang Benteng Spellwijk. Bentuk kuburannya sungguh aneh. Kuburan ini tentunya berbasiskan kuburan gaya eropa. Ada beberapa kuburan yang tampak tidak ada lubang yang dapat dimasuki oleh mayat manusia. Namun setelah ku lihat-lihat lagi kuburan itu, aku baru menyadari bahwa lubang untuk memasukkan mayat itu telah tertutup rapat oleh batu yang merupakan bagian dari kuburan itu sendiri. Kemudian, aku dan teman ku melanjutkan perjalanan menuju Spellwijk. Kaki ku melangkah perlahan, dalam keadaan masih menginjak bumi, aku berjalan sedikit mengitari Spellwijk. Sepanjang perjalanan yang ditemani oleh kuasa sang surya itu, aku melihat Speelwijk yang dikelilingi oleh parit-parit kecil yang penuh ditumbuhi ilalang dan sampah. Parit yang kotor itu menambah citra buruk benteng tinggalan belanda itu. Ketika akan sampai di benteng itu, aku juga melihat Vihara Avalokitesvara yang berada tepat di depan Benteng Speelwijk. namun, aku tidak terlalu tertarik akan vihara itu karena vihara merupakan salah satu bangunan yang bosan aku lihat karena saat aku masih sekolah di Riau, aku selalu melintasi sebuah vihara dan dapat dipastikan aku melihat vihara tersebut dan memiliki bentyk tak kalah bagusnya (tampak depan) dengan Vihara Avalokitesvara. Karena dikelilingi oleh parit-parit kecil, akses untuk masuk ke benteng tersebut dihubungkan oleh satu jembatan. Jembatan yang memiliki panjang tidak lebih dari 5 meter itu membentang panjang di atas parit itu. Ketika hendak memasuki benteng tersebut, aku mengambil suatu kertas yang membahas mengenai benteng tersebut. Hal yang dapat kuterima dari bacaan itu bahwa Benteng Speelwijk diarsiteki oleh seorang arsitek belanda yang bernama Hendrick Lucaszoon Cardeel. Nama Speelwijk sendiri digunakan konon untuk menghormati seorang Gubernur Jenderal Belanda bernama Speelma. Ooh… pikir ku saat itu. Sesaat terdengar lagu Supermassive Black Hole, yang menandakan ada seseorang yang memanggilku melalui Handphone. Ternyata Ibu ku. Kemudian setelah beberapa lama berbicara, akhirnya tombol merah tertekan pada handphone ku. Sedikit melangkah masuk ke muka benteng, aku melihat dua buat tiang tertancap kuat di dalam benteng, dan ku sadari bahwa tiang itu adalah tiang gawang sepak bola. Suatu hal yang aneh dan tak pernah terpikirkan ku sebelumnya. Aktivitas bermain bola pun berlansung didalam benteng itu. Sedikit berjalan mengitari benteng, aku melihat banyak sampah dan kotoran, baik binatang, maupun manusia. Aroma amoniak adalah salah satu cirri khas dari benteng ini. Keadaan yang tidak sedap di pandang memaksa ku untuk tidak melanjutkan pengamatan ku terhadap benteng itu. Kaki ku melangkah keluar dari benteng, dan pikiran ku lansung menyruh ku mencari posisi duduk. Awan yang mulai gelap menemaniku dalam menung. Angin pun berhembus, menyapu rambut ku yang panjangnya tidak lebih dari 2 cm. sejenak termenung, terpikitkan oleh ku lapangan sepak bola yang ku lihat tadi. Timbul satu pertanyaan konyol dalam pikiran ku yaitu, mengapa lapangan sepak bola yang dibuat di benteng ini. Mengapa bukan lapangan pekerjaan. Suatu keyakinan dalam diriku saat itu adalah terawatnya benteng itu apabila ada yang merawat, dan butuh orang yang ahli dalam merawat benteng itu, dan orang yang ahli itu adalah para sarjanawan/-wati yang lulus dari universitasnya, terutama lulusan jurusan arkeologi. Keadaan yang terawat dan terbukanya lapangan pekerjaan kuyakini akan menambah devisa negara pastinya, baik dari pajak pendapatan orang yang bekerja di benteng itu, maupun dari bidang pariwisata. Kepala ku tertunduk menghadap tanah sementara otakku berfikir kurangnya pengelolaan benda cagar budaya yang ada di Indonesia menjadikan benda cagar budaya itu sendiri sebagai tumbal. Seluruh tinggalan yang ada di Speelwijk sepertinya tidak dapat menggambarkan perkembangan kejayaan Banten pada masa lalu. Lelah berfikir memaksa ku menyegarkan pemikiran ku. Ku ambil air yang ada didalam tas ku, dan dalam sejenak, air yang awalnya terlihat penuh telah habis termakan oleh rasa haus ku. Duduk sambil menunggu teman-temanku menyelesaikan pengamatannya terhadap benteng itu adalah hal yang paling membosankan. Terdengar pula teriak-teriak dari orang-orang yang bermain sepak bola di dalam benteng tersebut. Selang beberapa lama, akhirnya mereka telah selesai mengamati benteng itu, dan kami melanjutkan perjalanan ke Vihara Avalokitesvara.

Sedikit mengulas sejarah, Klenteng Avalokitesvara merupakan salah satu vihara tertua di indonesia yang dibangun sekitar abad 16, didalamnya terdapat patung Dewi wan Lim peninggalan pada masa Kaisar China Dynasti Ming. Sebagai living monuments, klenteng ini masih digunakan sebagai tempat beribadah agama Buddha dan dalam kondisi yang sangat terawat. Vihara ini adalah satu-satunya tempat yang ku nikmati selama satu hari perjalanan itu. Sebelum aku memasuki vihara itu, aku dan beberapa teman ku terlebih dahulu minum air kelapa muda yang dijual di depan klenteng tersebut. Dengan harga Rp. 3.500,- aku telah dapat menikmati enaknya air kelapa itu. Setelah air kelapa itu habis (beserta isinya), aku dan teman ku akhirnya masuk ke dalam kleteng itu. Bersih dan cukup rapi adalah keadaan klenteng tersebut. Klenteng tersebut juga menyediakan kamar untuk orang yang hendak menginap disana. Tepat di depan salah satu kamar, terdapat pohon Bodhi yang berdiri teguh dan menambah kesan rindangnya klenteng tersebut. Kehadiran klenteng ini menggambarkan masyarakat banten yang cinta akan kerukunan, terutama antar umat beragama. Lokasi yang tidak berjauhan dari Masjid Agung Banten juga menggambarkan adanya hubungan baik setiap umat beragama pada zaman Banten masih berkuasa. Vihara Avalokitesvara yang terletak di wilayah Kampung Kasunyatan, Desa Banten, Kecamatan Kasemen ini tidak memungut biaya setiap pengunjung yang datang. Satu keunikan lain yang tidak aku terima dari kelenteng lain dan dapat aku terima dari kelenteng ini adalah adanya ramalan. Namun sayang, seluruh hasil ramalan ku buruk. Saat itu matahari semakin mengarah ke barat menandakan melambaikan tangannya dan mengucapkan selamat berjumpa kembali kepada kami.

Lelah berjalan seharian, akhirnya kami kembali ke basecamp. Melakukan aktivitas seperti biasanya yakni, mandi, makan, dan menyelesaikan tugas deskripsi tadi siang yang belum selesai. Rasa lelah yang menghantui ku mengakibatkan aku tertidur saat tugas deskripsi ku belum selesai. Namun, puji syukur kepada Tuhan yang mengirimkan nyamuk untuk menggigit ku sehingga aku bangun dan dapat melanjutkan tugas itu kembali.

Keesokan harinya, kembali aku bangun pada jam 06.30 pagi untuk makan dan melalakukan aktivitas seperti hari kemarin. Saat itu, pagi terasa beda karena matahari lebih menyengat dan panas menimbulkan rasa gerah yang luar biasa. Kami memulai aktivitas pengamatan pagi itu dengan mengunjungi Museum Banten Lama. Seperti museum-museum di Jakarta, Museum Banten Lama juga memiliki penataan yang buruk. Penyajian tinggalan-tinggalan budaya tidak dapat di desain menarik, dan aku pastikan aku malas untuk mengunjungi museum itu untuk kedua kalinya, kecuali kalau terpaksa. Perasaan malas dan enggan memasuki museum itu di perparah lagi dengan ingin ku memasuki Lourve Of Museum di Prancis. Sangatlah berdosa orang yang membandingkan kedua museum itu, pikir ku sejenak, karena perbedaan keduanya ku yakini sangatlah jauh. Walaupun gratis biaya masuk, aku tetap saja menggerutu sendiri melihat museum itu. Akupun tidak mau diajak berfoto bersama oleh teman ku didalam museum tersebut. Koleksi museum itu antara lain beberapa mata uang, tembikar, rumah adat, persenjataan, dan lain-lain. Kesemuanya itu telah dipenuh oleh debu-debu dan adapula sarang laba-laba yang telah berbentuk seperti penangkap sinyal nya telkomsel. Hanya satu yang sedikit menarik perhatian ku, yakni alat pemcetak uang zaman banten dulu. Walau kelihatan kusan dan banyak sarang laba-labanya, namun, karena sudah tertarik, mau kata apalagi. Aku cukup tertarik karena tidak pernah melihat benda ini sebelumnya. Namun sayang, saat itu aku tidak membawa kamera, jadi aku tidak dapat mengambil gambarnya. Selain itu hal lain yang menarik perhatian ku adalah peninggalan nisan-nisan. Gambar disamping menunjukkan beberapa nisan yang ada. Nisan ini tampak lebih besar dari semua tinggalan nisan yang ada di banten. Nisan ini menunjukkan sisa tinggalan Inggris saat bangsa Inggris datang ke Banten. Setelah berkeliling museum aku melihat benda yang seperti meriam yang diberi nama Ki Amuk, namun sayangnya Ki Amuk tidak sedang mengamuk dan malah diam seperti patung. Ya, Ki Amuk adalah satu meriam. Ketika melihat meriam ini, aku jadi teringat akan klub sepak bola idola ku yang berjuluk The Gunners, yaitu Arsenal yang dikalahkan Manchester United di perempat final Champions League. Sejenak dalam pikiran ku, mungkin saat itu Arsenal seperti meriam Ki Amuk ini, meriam yang tidak mengamuk dan tidak memiliki peluru.

Setelah dari museum, kami melanjutkan perjalanan menuju danau Tasikardi. Dengan kaki yang masih sedikit letih karena kemarin berjalan satu harian, aku terpaksa menempuh perjalanan yang cukup jauh. Melewati persawahan yang mulai digarap dan diiringi langkah matahari yang hendak menunjukkan kekuasaan penuhnya atas bumi, menguras tenaga ku. Dalam perjalanan, aku menjumpai beberapa pengindelan. Pengindelan adalah semacam penyaring air, yang airnya akan dilanjutkan ke pemandian Keraton Surosowan. Tampak disamping gambar pengindelan. Pengindelan ini sebenarnya memiliki fungsi sebagai tempat penyaringan air, namun sayang pengindelan ini seperti tempat pembuangan sampah. Air yang kotor dan sampah yang berserakan didalam pengindelan ini menimbulkan bau yang tidak sedap untuk dinikmati. Pengindelan-pengindela yang terletak diantara sawah-sawah penduduk sekitar. Ada tiga buah pengindelan yang ada disana, yakni pengindelan merah, pengindelan putih, dan pengindelan emas. Air dari pengindelan emas merupakan air yang akan dialirkan ke Keraton Sorosowan. Semua pengindelan ini sudah tidak berfungi lagi, apalagi kini pengindelan emas telah rusak karena tidak memiliki bagain atapnya. Ketika aku membaca sedikit ulasan mengenai pengindelan air itu, dikatakan bahwa air yang didapat dalam penyaringan ini adalah dari Danau Tasikardi. Setelah berjalan jauh, akhirnya aku dan teman-teman ku sampai pada tujuan kami kali ini. Ya, Danau Tasikardi. Pada saat tepat di depan pintu masuk, aku lansung meminum banyak air karena hawa panas selama perjalanan menguras banyak air dari dalam tubuh ku hingga mengakibatkan kahausan yang amat sangat dalam diriku. Ketika aku masuk ke dalam area danau, banyak anak-anak yang lansung membentangkan karpet ke tanah sembari berharap kami duduk di karepet itu dan memberi sejumlah uang kepada mereka. Ya, mereka adalah para parental karpet untuk duduk. Namun, kami tidak menduduki karpet itu dan mencari tempat duduk lain yang tidak memerlukan biaya. Danau yang cukup rindang dan sejuk karena banyak pepohonan yang tumbuh, pikirku. Namun, saat aku melihat airnya, airnya sudah tidak layak lagi untuk pemandian, apalagi pemandian orang-orang yang berkuasa di keraton pada zaman dahulu. Kalau keadaannya begini, keyakinan ku adalah pastinya setiap orang yang mandi di Istana Surosowan itu dulu memliki banyak panu ditubuhnya, karena airnya sudah dapat dianggap kotor. Danau ini pun telah dijadikan lahan buat memancing oleh beberapa orang. Penyewaan bebek-bebekan untuk mengitari danau ini dengan jalur air pun tersedia di sana.

Setelah lelah mengitari kami melanjutkan perjalanan ke Masjid Agung Banten. Namun kali ini kami menaiki tronton yang kami naiki sebelumnya saat hendak datang ke Banten Lama ini. Terasa sekali perbedaan antara berjalan kaki dan menaiki kendaraan, terutama masalah dan waktu. Setelah kami sampai tepat di depan Museum Banten Lama, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Jarak dari Museum Banten Lama dengan Masjid Agung Banten hanyalh sekitar 200 m. Sepanjang jalan memasuki masjid, Photobucket - Video and Image Hostingbanyak orang orang yang berjualan, seperti berjualan bakso, minyak wangi, hingga dodol garut. Ada juga orang-orang yang menukarkan uang dan uang tersebut dapat diberikan kepad peminta-minta yang ada disekitar masjid, maupun diarea halaman masjid (pintu masuk masjid). Setiap terjadi transaksi penukaran, para money changer ini mengambil keuntungan Rp. 200 setiap Rp.1.000. Jadi, keuntungan itu akan terus bertambah bila transaksi pertukaran dalam jumlah yang besar. Satu hal aneh lagi yang kujumpai adalah adanya penjualan plastik. Setiap plastic dihargai Rp. 1.000. Awalnya, aku tidak tahu apa kegunaanya, namun setelah aku bertanya kebeberapa teman ku, ternyata plastik itu berguna untuk orang yang hendak melakukan sholat. Sepatu dan sandal tidak dapat dibiarkan terletak begitu saja didepan masjid apabila tidak mau mengambil resiko kehilangan sepatu atau sendalnya. Huh, kesal ku, setiap pekerjaan yang tidak lazim ada di masjid ini. Sambil memerhatikan semua hal yang mengherankan disini, kembali aku membaca kertas yang membahas mengenai masjid ini. Setelah aku membaca tulisan itu aku melihat bahwa masjid ini beratap tumpang lima dan juga memiliki bagian makam. Makam-makam itu terletak di depan sebelah kiri masjid. Masjid yang atapnya ini memiliki mamolo juga memiliki menara yang terletak tepat di depan masjid itu dengan tinggi sekitar 23 m. Ketika hendak memasuki masjid, aku melihat banyak sekali para pengemis yang meminta-minta pada kami dan saat itu kami sudah berada di dalam area halaman masjid. Setelah melewati rintangan itu, kami menghadapi orang-orang lain lagi yang meminta-minta sedekah, namu yang ini atas nama masjid. Saat itu aku tidak memasukkan apapun ke dalam kotak amal yang tersedia disana, dan terlihat oleh ku muka kesal dan jengkel dari penjaga kotak amal itu. Setelah itu, aku dihadapi oleh seseorang yang menawarkan ku minyak wangi dengan mengatakan bahwa minyak wangi itu adalaho oleh-oleh dari masjid. Sepintas aku berfikir wah terhadap pengelolaan masjid ini, namun ketika aku hendak pergi, ia malah meminta sejumlah uang sebagai bayaran atas minyak wangi itu. Ah, pikirku. Aku lansung mengembalikan minyak itu kepada orang yang memberikannya. Namun karena ia tidak mau menerimanya, kau lansung saja meletakkan minyak wangi itu disakunya, lalu pergi. Semua yang ada di masjid ini adalah hal yang belum pernah aku temui. Semua area masjid telah dijadikan lahan usaha. Didalam area halaman masjid juga terlihat para penjual jasa foto dan ada juga yang berjaualan air kelapa yang hendak diminum. Entah apa yang ada dipikiran orang-orang ini, pikir ku. Setiap hendak melakukan sesuatu di sana, pasti selalu ada peminta-minta dan segala macam. Tak ubahnya saat teman-teman ku hendak naik ke menara Masjid Agung Banten ini. Pada setiap lantai, ada-ada saja orang yang meminta-minta. Hal meminta-minta sepertinya telah menjadi hal yang lazim diadakan disini. Saat itu aku berfikir, mengapa hanya rasa jenuh yang ditimbulkan pada saat aku mengunjungi semua tinggalan-tinggalan sejarah yang ada di banten ini, kecuali Vihara Avalokitesvara. Selain itu, timbul banyak pertanyaan dalam diriku mengapa semua hal seperti ini terjadi?. Apa pokok permaslahan dari semua ini?. Namun, hal itu pastinya bahwa aku dan teman-teman ku lah yang harus menjawab semua pertanyaan itu. Setelah kami mengelilingi masjid ini, kami pulang ke basecamp dan melakukan aktivitas kami, yaitu members-bereskan semua perlengkapan kami untuk kembali ke rumah. Tepat jam 19.47, kami kembali dalam keadaan selamat di kampus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok.

Sumber :

Landasan Struktural Perubahan Sosial Pada Masyarakat Banten Lama Akhir Abad ke-17: Tinjauan Sosiologis - Eri Sudewo

www.banten.go.id